Bertopi
kukusan bambu, gugup terima uang receh adalah potret kusam awal mula
Iwan Fals mencoba mencari duit. Kala itu belum terdengar gegap gempita,
denting gitar listrik maupun gemerlap lampu panggung. Selain uang receh,
yang sering ia hadapi adalah usiran halus ... “Lain kali aja, Mas !”
Uang
saku kurang jadi pendorong Iwan untuk bertualang. Tahun 1975 sebagai
murid SMP ia kost sendiri di bilangan Dago Bandung, sementara kedua
orangtuanya tinggal di Jakarta. Setelah putar otak ia sampai pada
keputusan ... ngamen. Modalnya murah serta mudah, apalagi sejak kecil ia sudah bisa bermain gitar dan harmonika.
Malam
sebelum mulai terjun ke jalan sebagai pengamen, Iwan mengaku tak bisa
tidur. “Saya masih bingung, mau ngamen di restoran atau dari rumah ke
rumah. Dengan pertimbangan pengunjung restoran itu hanya ingin makan,
saya akhirnya memutuskan untuk ngamen dari rumah ke rumah”. Malam itu
juga ia putuskan pakaian “dinas” hariannya, sepatu, baju dan celana yang
paling jelek, bahkan sudah robek.
Esok
harinya, sekitar pukul 16.00 ia mulai menapaki Jl. Dago menenteng gitar
dan tarik suara dari rumah ke rumah. Barangkali kalo ada yang memotret,
sosok Iwan waktu itu amat lucu. Bertopi kukusan tempat nasi yang diberi
dua lubang pas untuk matanya, ia menyembunyikan wajahnya .. jreng ,,
jreng ,, jreng terdengar lagu Bob Dylan, penyanyi yang jadi idolanya.
“Awalnya
saya nyanyi dengan taman gemetar. Sambil menunduk malu saya terima
pemberian orang uang logam sepuluh perak yang kecil itu. Meski ada pula
yang memberi duapuluh lima perak atau lima puluh perak. Satu hari saya
pernah dapat lima ribu rupiah juga dua ribu rupiah. Paling seret ya tiga
ratus rupiah bisiknya tersenyum."
Uang
hasil ngamen ini dipakai untuk jajan, beli sepatu, tali gitar bahkan
untuk beli sepeda motor. Setelah berlangsung seminggu, Iwan tak lagi
mengenakan pakaian belel serta gitar murahan. Pasalnya, Sang Ayah telah
membelikan gitar mahal serta celana jeans terkenal yang digandrungi kaum
muda saat itu. Dari situlah Iwan mulai setia dan tak lagi malu sebagai
pengamen.
Selangkah
lebih maju, dijalani Iwan setelah tahun 1979 membentuk kelompok musik
Amburadul bareng teman temannya dan mulai memasuki dunia rekaman. Selain
dari tabungan, dana untuk rekaman didapat dari penjualan sepeda
motornya.
Nah,
sambil membawa contoh kaset album perdana mereka, Iwan menjelajahi
Glodok menawarkan kepada produser. Setelah ditolak sana sini, akhirnya
ada juga seorang produser yang tertarik pada kesungguhan anak muda ini.
“Karena kontraknya tujuh ratus lima puluh ribu, masing – masing kami
mendapat dua ratus lima puluh ribu rupiah. Itulah kegembiraan saya yang
luar biasa. Waktu itu saya hanya mikir bagaimana jadi terkenal. Uang
masih belum jadi masalah.”
Walaupun
sudah masuk dapur rekaman tapi program ngamen jalan terus, meski ia
sudah menikahi Yos. Setiap kali Iwan ngamen, istrinya dengan setia
menunggu di warung. Begitu pun setelah Galang Rambu Anarki, anaknya yang
pertama lahir. Iwan tetap setia mengamen.
Tahun
1984, setelah anak kedua, Annisa Cikal Rambu Basae lahir, Iwan stop
ngamen. “Karena Galang harus sekolah dan dengan lahirnya Cikal
memerlukan lebih banyak biaya. Lagi pula sangat berpengaruh bagi
perkembangan anak bila dia sering berada di jalan,” ucapnya memberi
alasan.
Setelah
16 kaset ciptaanya terbit dan sukses, mulai dari bayaran dua ratus lima
puluh ribu, satu juta setengah, tiga juta dan sampai akhirnya sekarang
mendapatkan bayaran dua puluh juta untuk setiap kasetnya yang terbit.
Jalan kariernya mulai mulus.
Pria
kelahiran Jakarta, 3 September 1961 ini, sejak SMP mampu mengarang lima
lagu dalam sehari. Tapi kadang selama dua bulan, satu lagu pun tidak
jadi jadi. “Dalam membuat lagu kita harus menguasai masalahnya. Misalnya
tentang kemiskinan, saya harus banyak baca, jalan dan melihat bagaimana
kemiskinan itu ada di lingkungan kita, kalau sudah mendalami baru
jadilah sebuah lagu. Tapi sekarang saya melihat kemiskinan hanya dari
balik kaca mobil,” ini sekaligus pengakuan jujur Iwan tentang
kekurangannya belakangan ini.
Mesti
telah sukses, ia tetap bangga melihat para pengamen di dalam bis, atau
di jalan dan restiran. “Saya tidak melihar karyanya, yang penring mereka
telah mampu membeli kebutuhannya sendiri, membantu orang tuanya dan tak
lagi nganggur. Sebenarnya antara saya dan pengamen jalanan itu sama,
cuma kadarnya yang beda.” Tegasnya.
Dikutip dari Majalah Senang No.30/II/27 Juli – 9 Agustus 1990