Selasa, 28 Juli 2020

Jejak Iwan Fals Ketika Jadi Pengamen Di Bandung

Bertopi kukusan bambu, gugup terima uang receh adalah potret kusam awal mula Iwan Fals mencoba mencari duit. Kala itu belum terdengar gegap gempita, denting gitar listrik maupun gemerlap lampu panggung. Selain uang receh, yang sering ia hadapi adalah usiran halus ... “Lain kali aja, Mas !”
Uang saku kurang jadi pendorong Iwan untuk bertualang. Tahun 1975 sebagai murid SMP ia kost sendiri di bilangan Dago Bandung, sementara kedua orangtuanya tinggal di Jakarta. Setelah putar otak ia sampai pada keputusan ... ngamen. Modalnya murah serta mudah, apalagi sejak kecil ia sudah bisa bermain gitar dan harmonika.
 
Malam sebelum mulai terjun ke jalan sebagai pengamen, Iwan mengaku tak bisa tidur. “Saya masih bingung, mau ngamen di restoran atau dari rumah ke rumah. Dengan pertimbangan pengunjung restoran itu hanya ingin makan, saya akhirnya memutuskan untuk ngamen dari rumah ke rumah”. Malam itu juga ia putuskan pakaian “dinas” hariannya, sepatu, baju dan celana yang paling jelek, bahkan sudah robek.
 
Esok harinya, sekitar pukul 16.00 ia mulai menapaki Jl. Dago menenteng gitar dan tarik suara dari rumah ke rumah. Barangkali kalo ada yang memotret, sosok Iwan waktu itu amat lucu. Bertopi kukusan tempat nasi yang diberi dua lubang pas untuk matanya, ia menyembunyikan wajahnya .. jreng ,, jreng ,, jreng terdengar lagu Bob Dylan, penyanyi yang jadi idolanya.
 
“Awalnya saya nyanyi dengan taman gemetar. Sambil menunduk malu saya terima pemberian orang uang logam sepuluh perak yang kecil itu. Meski ada pula yang memberi duapuluh lima perak atau lima puluh perak. Satu hari saya pernah dapat lima ribu rupiah juga dua ribu rupiah. Paling seret ya tiga ratus rupiah bisiknya tersenyum."
 
Uang hasil ngamen ini dipakai untuk jajan, beli sepatu, tali gitar bahkan untuk beli sepeda motor. Setelah berlangsung seminggu, Iwan tak lagi mengenakan pakaian belel serta gitar murahan. Pasalnya, Sang Ayah telah membelikan gitar mahal serta celana jeans terkenal yang digandrungi kaum muda saat itu. Dari situlah Iwan mulai setia dan tak lagi malu sebagai pengamen.
 
Selangkah lebih maju, dijalani Iwan setelah tahun 1979 membentuk kelompok musik Amburadul bareng teman temannya dan mulai memasuki dunia rekaman. Selain dari tabungan, dana untuk rekaman didapat dari penjualan sepeda motornya.
 
Nah, sambil membawa contoh kaset album perdana mereka, Iwan menjelajahi Glodok menawarkan kepada produser. Setelah ditolak sana sini, akhirnya ada juga seorang produser yang tertarik pada kesungguhan anak muda ini. “Karena kontraknya tujuh ratus lima puluh ribu, masing – masing kami mendapat dua ratus lima puluh ribu rupiah. Itulah kegembiraan saya yang luar biasa. Waktu itu saya hanya mikir bagaimana jadi terkenal. Uang masih belum jadi masalah.”
 
Walaupun sudah masuk dapur rekaman tapi program ngamen jalan terus, meski ia sudah menikahi Yos. Setiap kali Iwan ngamen, istrinya dengan setia menunggu di warung. Begitu pun setelah Galang Rambu Anarki, anaknya yang pertama lahir. Iwan tetap setia mengamen.
 
Tahun 1984, setelah anak kedua, Annisa Cikal Rambu Basae lahir, Iwan stop ngamen. “Karena Galang harus sekolah dan dengan lahirnya Cikal memerlukan lebih banyak biaya. Lagi pula sangat berpengaruh bagi perkembangan anak bila dia sering berada di jalan,” ucapnya memberi alasan.
 
Setelah 16 kaset ciptaanya terbit dan sukses, mulai dari bayaran dua ratus lima puluh ribu, satu juta setengah, tiga juta dan sampai akhirnya sekarang mendapatkan bayaran dua puluh juta untuk setiap kasetnya yang terbit. Jalan kariernya mulai mulus.
Pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961 ini, sejak SMP mampu mengarang lima lagu dalam sehari. Tapi kadang selama dua bulan, satu lagu pun tidak jadi jadi. “Dalam membuat lagu kita harus menguasai masalahnya. Misalnya tentang kemiskinan, saya harus banyak baca, jalan dan melihat bagaimana kemiskinan itu ada di lingkungan kita, kalau sudah mendalami baru jadilah sebuah lagu. Tapi sekarang saya melihat kemiskinan hanya dari balik kaca mobil,” ini sekaligus pengakuan jujur Iwan tentang kekurangannya belakangan ini.
 
Mesti telah sukses, ia tetap bangga melihat para pengamen di dalam bis, atau di jalan dan restiran. “Saya tidak melihar karyanya, yang penring mereka telah mampu membeli kebutuhannya sendiri, membantu orang tuanya dan tak lagi nganggur. Sebenarnya antara saya dan pengamen jalanan itu sama, cuma kadarnya yang beda.” Tegasnya.
Dikutip dari Majalah Senang No.30/II/27 Juli – 9 Agustus 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengkodean Terbuka Tema Lagu Iwan Fals (data s.d tahun 2008)

 Terdapat 362 lirik lagu Iwan Fals. 312 lirik lagu dipublikasikan secara nasional dan 50 lainnya tidak (lagu ghoib). Secara umum dari ...